Al-Bukhari (194–256 H) 5
Badai di negeri Bukhara
Badai di negeri Bukhara
Di negeri Bukhara telah tersebar
berita bahwa Imam Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari sedang
menuju Bukhara. Penduduk
Bukhara melakukan berbagai
persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan
oleh Ahmad bin Mansur Asy-
Syirazi bahwa dia mendengar
dari berbagai orang yang
menyaksikan peristiwa
penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan
bahwa masyarakat membangun
gapura penyambutan di tempat
yang berjarak satu farsakh
(kurang lebih 5 km) sebelum
masuk kota Bukhara. Ketika Al- Imam Muhammad bin Ismail Al-
Bukhari telah sampai di gapura
“selamat datang” tersebut,
beliau mendapati hampir seluruh
penduduk negeri Bukhara
menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai
disebutkan bahwa penduduk
melemparkan kepingan emas dan
perak di jalan yang akan diinjak
oleh telapak kaki Al-Bukhari.
Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil
berebut memberikan buah
anggur yang istimewa kepada
Sang Imam Ahlul Hadis yang amat
mereka cintai itu. Akan tetapi, suka cita penduduk
negeri Bukhara ini tidak
berlangsung lama. Beberapa hari
setelah itu para ahli fikih mulai
resah dengan beberapa
perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara.
Yang
berlaku di negeri tersebut
adalah Mazhab Hanafi, sedangkan
Al-Bukhari mengajarkan hadis
sesuai dengan pengertian ahli
hadis yang tidak terikat dengan mazhab tertentu sehingga yang
nampak pada masyarakat ialah
sikap-sikap yang diajarkan oleh
ahli hadis, dan bukan pengamalan
Mazhab Hanafi. Orang dalam
beriqamat untuk shalat jemaah tidak lagi menggenapkan bacaan
qamat seperti azan, tetapi
membaca iqamat dengan satu-
satu sebagaimana yang ada
dalam hadis-hadis shahih. Ketika
bertakbir dalam shalat semula tidak mengangkat tangan
sebagaimana Mazhab Hanafi,
sekarang mereka bertakbir
dengan mengangkat tangan.
Dengan berbagai perubahan ini
keresahan para ulama fikih
tambah menjadi-jadi sehingga
tokoh ulama fikih di negeri
tersebut yang bernama Huraits
bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari,
“Orang ini pengacau. Dia akan
merusakkan kehidupan
keagamaan di kota ini.
Muhammad bin yahya telah
mengusir dia dari Naisabur, padahal dia Imam Ahli Hadis.”
Oleh sebab itu, Huraits dan
kawan-kawannya mulai berusaha
untuk mempengaruhi Gubernur
Bukhara agar mengusir Al-Imam
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
ini. Gubernur negeri ini yang bernama Khalid bin Ahmad As-
Sadusi Adz-Dzuhli. Gubernur Khalid pernah meminta
Al-Bukhari untuk datang ke
istananya guna mengajarkan
kitab At-Tarikh dan Shahih Al-
Bukhari bagi anak-anaknya,
tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak permintaan gubernur
tersebut dengan mengatakan,
“Aku tidak akan menghinakan
ilmu ini dan aku tidak akan
membawa ilmu ini dari pintu ke
pintu. Oleh karena itu, bila Anda memerlukan ilmu ini, maka
hendaknya Anda datang saja ke
masjidku atau ke rumahku. Bila
sikapku yang demikian ini tidak
menyenangkanmu, engkau adalah
penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka
majelis ilmu ini agar aku punya
alasan di sisi Allah di hari kiamat
bahwa aku tidaklah
menyembunyikan ilmu (tetapi
dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya).”
Tentu, Gubernur Khalid dengan
jawaban ini sangat kecewa, maka
berkumpullah padanya
penghasutan Huraits bin Abil
Wuraqa’ dan kawan-kawan
serta kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan
Gubernur Khalid akhirnya
sepakat untuk membikin rencana
mengusir Muhammad bin Ismail
dari Bukhara. Lebih-lebih lagi,
telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli
dari Naisabur kepada Gubernur
Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-
Dzuhli di Bukhara yang
memberitakan bahwa Al-Bukhari
telah menampakkan sikap menyelisihi sunah Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam.
Dengan demikian
matanglah rencana pengusiran
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-
Bukhari dari negeri Bukhara. Upaya pengusiran itu bermula
dengan dibacakannya surat
Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli
di hadapan segenap penduduk
Bukhara tentang tuduhan beliau
kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa beliau
telah berbuat bid’ah dengan
mengatakan bahwa “lafalku
ketika membaca Alquran adalah
makhluk”. Namun, dengan
pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak
mau peduli dengan tuduhan
tersebut dan terus memuliakan
Al-Imam Al-Bukhari. Namun,
Gubernur Khalid akhirnya
mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari
sangat kecewa dengan
perlakuan ini. Sebelum keluar dari
negeri Bukhara, beliau sempat
mendoakan celaka atas orang-
orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya.
Ibrahim
bin Ma’qil An-Nasafi
menceritakan, “Aku melihat
Muhammad bin Ismail pada hari
beliau diusir dari negeri Bukhara,
aku mendekat kepadanya dan aku bertanya kepadanya,
“Wahai Abu Abdillah, apa
perasaanmu dengan pengusiran
ini?” Beliau menjawab, “Aku
tidak peduli selama agamaku
selamat.” Al-Bukhari meninggalkan Bukhara
dengan penuh kekecewaan dan
dilepas penduduk Bukhara
dengan penuh kepiluan. Beliau
berjalan menuju desa Bikanda
kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya
adalah desa-desa negeri
Samarkan. Di desa terakhir inilah
beliau jatuh sakit dan dirawat di
rumah salah seorang kerabat
beliau yang menjadi penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati yang terluka,
tubuhnya yang kurus kering di
usia ke enam puluh dua tahun,
beliau berdoa mengadukan
segala kepedihannya kepada
Allah Ta`ala, “Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah
ya Allah, Engkau panggil aku
keharibaan-Mu.” Sesaat setelah
itu ia pun menghembuskan nafas
terakhir dan selamat tinggal
dunia yang penuh onak dan duri.
Pembelaan Al-Bukhari
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri
hidupnya di desa Khartanka,
Samarkan pada malam Sabtu di
malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri)
1 Syawal 256 H. Sebelum menghembuskan nafas yang
terakhir, beliau sempat
berwasiat agar mayatnya nanti
dikafani dengan tiga lapis kain
kafan tanpa imamah (ikat
kepala) dan tanpa baju. Beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan
baik oleh kerabat beliau yang
merawat jenazahnya. Beliau
dikuburkan di desa itu di hari Idul Fitri, 1 Syawal 256 H setelah
shalat zuhur. Seketika selesai
pemakamannya, tersebarlah bau
harum dari kuburnya dan terus
semerbak bau harum itu sampai
berhari-hari. Gubernur Bukhara Khalid bin
Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil
dari kezalimannya dengan
datangnya keputusan
pencopotan terhadap
jabatannya dari Khalifah Al- Muktamad karena tuduhan ikut
terlibat pemberontakan Ya’qub
bin Al-Laits terhadap Khilafah
Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad
akhirnya dipenjarakan di
Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan
Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa
kehancuran pada anak-anaknya
yang berbuat tidak senonoh.
Para penentang Imam Bukhari
menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya
beliau dan sebagian mereka
sempat mendatangi kuburnya. Mulailah setelah itu orang berani
menyebarkan pembelaan Al-Imam
Al-Bukhari dari segala tuduhan
miring terhadap dirinya. Akan
tetapi, berbagai pembelaan itu
selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji
terhadap diri beliau. Allah Maha
Adil terhadap hamba-hamba-Nya. Muhammad bin Nasir Al-Marwazi
mempersaksikan bahwa Al-Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari menyatakan, “Barang
siapa yang mengatakan bahwa
aku telah berpendapat bahwa lafalku ketika membaca Alquran
adalah makhluk maka sungguh
dia adalah pendusta, karena
sesungguhnya aku tidak pernah
mengatakan demikian.” Abu Amr Ahmad bin Nasir An-
Naisaburi Al-Khaffaf
mempersaksikan bahwa Al-Imam
Al-Bukhari telah mengatakan
kepadanya, “Wahai Abu Amir,
hafal baik-baik apa yang aku ucapkan, ‘Siapa saja yang
menyangka bahwa aku
berpendapat bahwa lafalku
tentang Alquran adalah makhluk,
baik dia dari penduduk Naisabur,
Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah,
Mekkah, atau Madinah,’ maka
ketahuilah bahwa yang
menyangka aku demikian itu
adalah pendusta. Karena
sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja
aku mengatakan, ‘Segenap
perbuatan hamba Allah itu adalah
makhluk.’” Yahya bin Said mengatakan,
“Abu Abdillah Al-Bukhari telah
berkata: Gerak-gerik hamba
Allah, suara mereka, tingkah laku
mereka, segala tulisan mereka
adalah makhluk. Adapun Alquran yang dibaca dengan suara huruf-
huruf tertentu, yang ditulis di
lembaran-lembaran penulisan
Alquran, yang dihafal di hati para
penghafalnya, maka semua itu
adalah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.” Ghunjar membawakan riwayat
dengan sanadnya sampai ke Al-
Firabri, dia mengatakan bahwa
Al-Bukhari telah mengatakan,
“Alquran kalamullah dan bukan
makhluk. Barang siapa yang mengatakan bahwa Alquran itu
makhluk maka sungguh dia telah
kafir.” Bahkan, Al-Imam Al-
Bukhari menulis kitab khusus
dalam masalah ini dengan judul
Khalqu Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian
beliau dalam masalah ini dengan
gamblang dan jelas serta lengkap
dan ilmiah.
Fitnah itu memang kejam, lebih
kejam dari pembunuhan.
Dia tidak
akan memilih antara orang jahil
atau orang alim dari kalangan
ulama. Dan ulama pun bisa salah
dalam memberikan penilaian, karena yang ma’shum (terjaga
dari kesalahan) hanyalah
Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam. Orang-orang yang
menyakini bahwa ulama itu
ma’shum hanyalah para ahli bid’ah dari kalangan Rafidlah
(Syiah) atau orang-orang sufi.
Demikian pula, orang-orang yang
mencerca ulama karena
kesalahannya semata tanpa
mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena kesalahan
ijtihad ataukah kesalahan prinsip
yang tak termaafkan, yang
demikian ini adalah sikap
sufaha’ (orang-orang dungu)
semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin Surur) atau
haddadiyyun (pengikut Mahmud
Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal
Jamaah tidak menganggap para
ulama itu ma’shum dan tidak
pula melecehkan ulama ketika mendapati kesalahan mereka.
Dengan prinsip inilah kita tetap
memuliakan Al-Imam Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari. Kita juga
memuliakan Al-Imam Muhammad
bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi
para imam-imam tersebut. Kita
memahami segala perselisihan di
kalangan mereka dengan ilmu
Alquran dan As-Sunnah untuk
mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang
salah untuk kita tinggalkan. Ahlus Sunnah wal Jamaah itu
berkata dan berbuat dengan
bersandarkan kepada ilmu.
Adalah bukan akhlak Ahlus
Sunnah wal Jamaah bila
segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian
menvonis seseorang atau
sekelompok orang. Tertapi ketika
ditanyai, apa dasar kamu
berbuat demikian? Jawabannya:
Kami masih menunggu fatwa dari ulama! Kita katakan kepada mereka ini,
“Apalagi yang kalian tunggu dari
ulama setelah kalian berbuat,
menvonis dan menilai? Apakah
kalian berbuat dulu baru mencari
pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama?
Kalau begitu, yang kalian tunggu
adalah fatwa pembenaran dari
ulama terhadap perbuatan
kalian. tentu yang demikian ini
bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Gubernur Bukhara, Khalid bin
Ahmad As-Sadusi, dan Mufti
negeri Bukhara, Huraits bin Abil
Waraqa’, telah menyimpan
ketidaksenangan kepada Al-Imam
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan berencana untuk
mengusirnya dari negeri Bukhara.
Ketika sedang mencari-cari
alasan pembenaran terhadap
perbuatannya tiba-tiba datang
surat dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur
yang memperingatkan sang
gubernur dari bahaya bid’ah
yang dibawa oleh Al-Imam Al-
Bukhari.
Surat ini seperti kata
pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti,
segera surat ini dibacakan di
hadapan penduduk Bukhara dan
setelah itu datanglah keputusan
pengusiran Al-Bukhari dari negeri
kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan orang bahwa
pengusiran itu karena semata-
mata alasan agama dan bukan
alasan yang lainnya. Akan tetapi, Allah Maha Tahu dan
Dia membongkar segala
kejahatan di balik alasan-alasan
yang memakai atribut agama itu.
Sehingga yang tertulis dalam
sejarah Islam sampai hari ini adalah kesan buruk terhadap
perbuatan Khalid bin Ahmad As-
Sadusi dan Huraits bin Abil
Waraqa’, dan bukan kesan
buruk yang dibikin-bikin oleh
para pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan
kedustaan itu berulang-ulang
terus dari masa ke masa. Hanya
saja, pemainnya yang berganti-
ganti. Namun semua itu akan
menjadi sejarah bagi anak cucu di belakang hari sebagaimana
sejarah pengkhianatan dan
kedustaan terhadap Al-Imam Al-
Bukhari yang sekarang menjadi
pergunjingan bagi generasi ini.
Sumber: http://
ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/26/
imam-bukhari/
Dipublikasikan ulang oleh www.yufidia.com, disertai penyuntingan
Created at 2012-08-15 04:52
Back to posts
UNDER MAINTENANCE